Jurnalisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Kewartawanan atau jurnalisme (berasal dari kata journal), artinya catatan
harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti
suratkabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang
melakukan pekerjaan jurnalistik.
Di
Indonesia, istilah "jurnalistik" dulu dikenal dengan
"publisistik". Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya
berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena
berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu,
istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan
jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Aktivitas
Kewartawanan
dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu
terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan.
Para
wartawan seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas.
Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pemberitaan (pers).
Aktivitas
utama dalam kewartawanan adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa,
apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan
5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau yang
sedang hangat (trend). Kewartawanan meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.
Sejarah
Pada
awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah
yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di
Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di
era-era inilahBintang Timoer, Bintang
Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada
masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran
ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin
terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan
Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek
televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam
putih.
Masa
kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi
pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam
sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian
memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma
Tempo Sirna Galih, Jawa Barat.
Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik
kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media
massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi
profesi.
Kegiatan
kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32
Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar